Lamborghini Huracán LP 610-4 t
Artikel As-Sunni

ﺍِﺫَﺍﺻَﺢَّ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚُ​ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺬْﻫَﺒِﻲ

Dikutip dari buku Argumentas i Ulama Syafi'iyah , halaman 117-125.

Syafi'i Rahimahull ahu Ta'ala
pernah berkata:
ﺍِﺫَﺍﺻَﺢَّ
ﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚُ​ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺬْﻫَﺒِﻲ
"apabila shahih suatu hadits,
maka dialah madzhabku"
Ucapan ini, yang juga senada
dengan ucapan Imam hanafi dan
Imam Maliki ternyata
menimbulka n beragam
interpreta si yang intinya:
(1) Setiap hadits yang shahih,
maka siapapun boleh secara
langsung mengamalka nnya dan
itu berarti telah mengamalka n
pendapat imamnya. (2) Ucapan
tersebut tidaklah ditujukan
kepada semua orang melainkan
khusus kepada mereka yang
sudah mendekati atau mencapai
derajat Mujtahid.
Dari komentar-k omentar para
ulama, baik itu dari kalangan
Syafi'i, Hambali, maupun Maliki
ternyata bahwa sasaran ucapan
tersebut dikhususka n kepada
mereka yang sudah ahli dalam
memahami nash dan
mengetahui mana yang nasikh,
dan mana yang mansukh, bukan
ditujukan kepada semua orang.
Komentar dari ulama-ulam a
Syafi'i;
Imam Nawawi Rahimahull ahu
Ta'ala dalam mukaddimah kitab
al-Majmu' jilid I/64 mengatakan ,
"Ucapan Imam Syafi'i ini tidaklah
berarti bahwa setiap orang yang
menemukan hadits shahih boleh
berkata bahwa ini madzhab
Syafi'i dan kemudian
mengamalka nnya secara
tekstual. Hal ini hanyalah
diperuntuk an bagi orang yang
telah mencapai derajat mujtahid
dalam madzhab sesuai dengan
syarat-sya rat yang telah
ditentukan , atau mendekati
derajat tersebut. Disyaratka n
pula adanya bukti bahwa Imam
Syafi'i belum mengetahui hadits
ini atau belum mengetahui
keshahihan nya. Ini baru dapat
terjadi apabila sudah menelaah
semua kitab Imam Syafi'i dan
kitab-kita b para sahabat Imam
Syafi'i yang mengambil hadits
dari beliau dan yang serupa
dengan kitab-kita b itu, dan ini
adalah syarat yang amat sulit
sehingga amat sedikit orang
yang dapat memenuhiny a."
Syaikh Abu Umar berkata,
"Tidaklah gampang mengamalka
n lahiriyah ucapan Imam Syafi'i
ini. Karena itu, tidaklah setiap
faqih (ahli fiqih) diperboleh kan
secara mandiri mengamalka n
begitu saja apa yang
menurutnya telah disebutkan
dalam sebuah hadits."
Komentar dari ulama-ulam a
Hanafi;
Ibnu Abidin dalam Hasiyahnya
jilid I/68 mengatakan , "Jelas
bahwa hal ini (yakni ucapan
"apabila shahih suatu hadits,
maka dialah madzhabku" )
diperuntuk kan bagi orang yang
ahli dalam memahami nash serta
mengetahui yang muhkam dan
yang mansukh."
Muhammad 'Awwamah dalam
kitabnya Atsar al-Hadits al-Syarif
fi Ikhtilaf al-A'immah al-
Fuqoha' mengatakan ,
"Komentar Ibnu Abidin ini
menunjukka n bahwa beliau
memandang syarat atau
pembatasan ini sebagai perkara
yang jelas dan gamblang, yang
tidak boleh diabaikan begitu saja.
Jelas sekali bahwa ucapan
"apabila shahih suatu hadits,
maka dialah madzhabku" adalah
dikhususka n bagi mereka yang
ahli dalam memahami nash,
mengerti yang nasikh dan
mansukh serta yang lainnya.
Tidaklah diperboleh kan sekali-
kal i bagi orang yang bodoh dan
baru belajar untuk menempati
kedudukan ini."
Syaikh Abdul Ghaffar
(1290-1349 ), seorang pemuka
madzhab Hanafi yang termasuk
mufassir, muhaddits dan faqih
mengomenta ri apa yang telah
disyaratka n oleh Ibnu Abidin,
"Ini adalah syarat yang baik
karena kita melihat pada zaman
sekarang banyak orang yang
mengaku berilmu padahal dirinya
tertipu. Ia merasa dirinya berada
di atas awan padahal ia masih
terkurung di lembah yang dalam.
Boleh jadi ia telah mengkaji salah
satu dari kitab hadits yang enam
(kutub as-sittah) dan di situ ia
menemukan hadits yang
berlawanan dengan madzhab
Abu Hanifah lalu ia berkata,
'Lemparkan lah madzhab Abu
Hanifah itu ke dinding pagar dan
ambillah hadits Rasulullah
Shallallah u 'Alaihi Wasallam.'
Padahal hadits yang ia temukan
itu telah mansukh atau
bertentang an dengan hadits
yang sanadnya lebih kuat dan hal
lainnya sehingga hilangnya
kewajiban pengamalan nya dan
dia tidak mengetahui hal ini. Bila
pengamalan suatu hadits seperti
ini diserahkan kepadanya secara
mutlak, maka ia akan tersesat
dalam banyak soal dan akan
menyesatka n orang lain yang
bertanya kepadanya. "
Komentar dari ulama-ulam a
Maliki;
Al-Imam al-Hujjah Syihabuddi n
Abil Abbas al-Qarrafi , penulis
kitab al-Furuq, al-Ahkam dan
yang lainnya mengatakan ,
"Banyak diantara fuqaha' Syafi'i
yang berpegang kepada
pendapat ini ("apabila shahih
suatu hadits, maka dialah
madzhabku" ) dan berkata,
'Demikianl ah madzhab Syafi'i
karena hadits ini adalah hadits
shahih.' Padahal ia telah keliru
karena ia mesti menduga tidak
ada penentang suatu hadits
tergantung pada orang yang
memiliki keahlian dalam meneliti
syari'ah, sehingga diketahui
benar bahwa hadits itu tidak ada
penentangn ya." Penisbatan
suatu hukum kepada madzhab
Syafi'i atas dasar sebuah hadits
shahih hanya boleh dilakukan
setelah melalui penyelidik an
yang sempurna agar diyakini
tidak terdapat dalil lain yang
menentangn ya. Dan hal ini
hanya dimiliki oleh mujtahid,
tidak yang lainnya, yaitu orang
yang mempunyai keahlian
sempurna dalam meneliti
syari'ah, tidak cukup hanya
sekedar mengetahui hadits saja.
Diantara pengikut Syafi'iyah ada
yang mengamalka n lahiriyah
ucapan Imm Syafi'i. Mereka
mengamalka n hadits yang
sengaja ditinggalk an oleh Imam
Syafi'i, padahal beliau telah
megetahui keshahihan nya. Hal
ini beliau lakukan karena telah
tampak pada beliau adanya
hadits lain yang menentang
pengamalan hadits dimaksud
dan rupanya itu tidak tampak
pada imam yang lain.
Salah satu pengikut Syafi'iyah
yang melakukan hal tersebut
adalah Abul Walid Musa Ibnu Abil
Jarud, salah seorang sahabat
Imam Syafi'i. Dia berkata, "Telah
shahih hadits yang berbunyi
ﺍَﻓْﻄَﺮَﺍﻝْ​ﺣَﺎﺟِﻢُ
ﻭَﺍﻟْﻤَﺤْﺞُ​ﻭْﻡُ 'Batal puasa
orang yang membekam dan juga
yang dibekam (HR. Abu Dawud,
Nasa'i dan Ibnu Majah).' Maka
menurutku, Imam Syafi'i pun
berpendapa t bahwa puasa
orang yang membekam dan yang
dibekam adalah batal."
Apa yang diucapkan oleh Abil
Jarud ini dibantah oleh ulama-
ulam a Syafi'iyah yang lain
karena Imam Syafi'i telah
meninggalk an hadits tersebut
walaupun beliau tahu tentang
keshahihan nya, hai ini karena
dalam pandangan beliau hadits
tersebut mansukh (telah
terhapus hukum yang
dikandungn ya) dan beliaupun
telah pula menjelaska n dalil
shahih yang menasakhny a yaitu
hadits riwayat Imam Bukhari,
"Berkata Ibnu Abbas RadhiAllah
u Anhu; Sesungguhn ya Nabi
Shallallah u 'Alaihi Wasallam
berbekam, padahal beliau sedang
ihram dan berpuasa." Jika dua
hadits shahih bertentang an dan
keduanya tidak bisa dikonfromi
kan, maka jalan yang ditempuh
adalah mengunggul kan salah
satu hadits, dalam kasus ini
hadits shahih riwayat Imam
Bukhari tentu harus didahuluka
n karena semua ulama hadits
telah sepakat bahwa hadits
riwayat Imam Bukhari adalah
yang paling tinggi keshahihan
nya.
Setelah mengetahui alasan-ala
san dari para ulama Syafi'iyah
yang membantahn ya, Ibnu Abil
Jarud dengan besar hati menarik
kembali pernyataan nya. Bahkan
ulama lain yang sebelumnya
mendukung Ibnu Abil Jarud yakni
Abul Walid an-Naisabu ri Hasan
bin Muhammad (w.349H) -
seorang ulama yang disamping
sebagai rawi, juga ahli riwayat
dan dirayah- akhirnya
bersumpah, "Demi Allah, Imam
Syafi'i telah meninggalk an
pengamalan suatu hadits
dengan sengaja karena pada
pandangan beliau hadits tersebut
telah mansukh."
Jika Demikian sikap para ulama
besar, maka bagaimanak ah
halnya dengan kita sekarang?
Apakah boleh bagi kita
menisbatka n suatu hukum
kepada Imam Syafi'i berdasarka
n pernyataan beliau tersebut,
sedangkan kita belum memahami
dengan sepenuhnya apa
maksud dari pernyataan Imam
Syafi'i?

wallahu A'lam.

Ke beranda blog
Komentar
[2011-11-18 12:56] JatAtmommaHor:

apa yang saya cari, terima kasih


Komentari artikel ini

Share/bookmark
Pengunjung online: 1 orang.
Beranda G4buek · Adudu Blog · Buku tamu · Partner